Notifications

Pandangan Sufi dalam Filosofi Bali Kuno

Masyarakat Bali terkenal religius. Banyak filosofi hidup Bali kuno yang memiliki makna mendalam. Bahkan, pandangan-pandangan sufi di masa lalu itu masih diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

Artikel ini akan membahas bagaimana pandangan sufi dan apa saja filosofi Bali kuno yang masih relevan hingga kini. Bacalah sampai selesai.

Kehidupan Masyarakat Bali

Pandangan Sufi dalam Filosofi Bali Kuno

Kontur Bali yang cenderung agraris. Masyarakatnya hidup dalam kelompok-kelompok yang disebut “sekaha”. Dalam penerapan kehidupan, para sufi pada zaman dulu menerapkan Tri Hita Karana. Sesuai namanya, Tri Hita Karna bermakna 3 hal: hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, serta manusia dengan manusia.

Sebagaimana masyarakat pada umumnya, di Bali mereka hidup harmonis dalam kelompok-kelompok “sekaha”.  Masyarakat Bali hidup bergotong-royong membangun saluran irigasi “subak” yang merupakan ciri khas di sana.

Tak hanya aspek keseharian, juga mereka bersama-sama mendirikan dan menjaga tempat ibadah berupa pura. Hal itu memperkokoh sendi-sendi keagamaan Hindu dari dulu dan menjadi benteng tradisi yang kuat.

Penerapan filosofi Bali kuno juga tak lepas dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Orang Bali memelihara tumbuh-tumbuhan bahkan memperingatinya dalam berbagai ritual keagamaan. Demikian juga binatang ternak, yang turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat tradisional Bali, teruama pada hari raya Tumpek.

Kehidupan religius dan harmonis masyarakat Bali dengan alam sekitar merupakan wujud nyata filosofi hidup. Mereka menghayatinya sepanjang perjalanan hidup di dunia ini.

Sufi dalam Agama Hindu

Masyarakat Bali membangun pura di tiap desa, juga tempat ibadah keluarga yang mereka sebut sanggah. Umat Hindu di Bali menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur semua mahluk di jagat raya.

Sejatinya, penganut agama Hindu menerapkan filsafat secara naluriah tanpa memerlukan pengajaran. Filosofi Bali kuno pun masih diterapkan hingga kini oleh masyarakat setempat. Tentu, ini akan membuat setiap umat Hindu bangga dengan warisan mereka, di mana pemandangan pengabdian yang luar biasa dari orang Bali Indonesia.

Ajaran-ajaran filsafat itu hadir melalui tarian, makanan, rempah-rempah, di bawah arus karma baik. Tri Hita Karana merupakan filsafat hidup multidimensi masyarakat Bali yang masih relevan hingga saat ini.

Filosofi Bali Kuno dalam Tri Hita Karana

Untuk menjaga hubungan dengan lingkungan sekala dan niskala, masyarakat Bali akan berpegang pada konsep Tri Hita Karana. Secara harfiah, Anda bisa mengartikannya dengan tiga penyebab kesejahteraan. Konsep ini terdiri dari tiga aspek. Apa saja?

1. Aspek Parhyangan

Filosofi pada aspek Parhyangan merupakan filosofi yang menggambarkan hubungan masyarakat Bali dengan lingkungan spriritual yang berakulturasi dengan ajaran Hindu. Orang Bali yang sebagian besar beragama Hindu menyebut nama Tuhan mereka sebagai Hyang Widhi Wasa.

Pada praktiknya, Bali terkenal akan pemujaan terhadap dewa-dewa. Di antaranya Brahma, Wisnu, dan Siwa. Dewa-dewa tersebut juga merupakan wujud pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta ini.

2. Aspek Pawongan

Aspek Pawongan ini lebih menitikberatkan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hal ini tak bisa saling melepaskan, karena kodrat seorang anak manusia yang merupakan makhluk sosial.

Dalam hal ini contohnya, ada istilah “angawe sukaning wong lian”. Ungkapan ini mengajarkan masyarakat Bali untuk berbuat kebaikan dan memberikan kebahagian untuk orang lain.

Budaya Bali yang kental dengan ajaran agama Hindu juga memegang konsep Tat Twam Asi. Konsep ajaran ini bermakna sebagai cinta kasih serta solidaritas dalam menciptakan hubungan harmonis antarsesama umat manusia. Selain itu, ada juga konsep ahimsa yang berisi seruan untuk tidak melakukan tindak kekerasan antarsesama manusia.

3. Aspek Palemahan

Aspek terakhir dalam konsep Tri Hita Karana adalah palemahan. Palemahan merupakan ekspresi hubungan manusia dengan lingkungan fisik atau alam. Masyarakat Bali selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan alam semesta. Salah satunya adalah dengan tidak melakukan eksploitasi sumber daya alam Bali secara berlebihan demi menjaga kelestariannya.

Di Bali, hubungan manusia dengan alam ini dijaga dengan Sukerta Tata Palemahan. Hal ini berfungsi sebagai mekanisme kontrol atas pemanfaatan sumber daya alam yang mencerminkan kearifan ekologi. Ketiga aspek dalam konsep ini berkesinambungan dan akan selalu Anda jumpai pada setiap aspek kehidupan masyarakat Bali.

Pandangan sufi pada masa lalu menghadirkan filosofi Bali kuno yang masih relevan hingga kini. Untuk itu, masyarakat Bali pun masih menjadikannya sebagai filsafat hidup mereka.

Post a Comment