Notifications

Tradisi Ngusaba Desa: Kegiatan Upacara Selamatan Desa Khas Bali

Di tengah gemerlapnya tradisi di Pulau Dewata, terdapat satu tradisi yang begitu khas dan istimewa, yakni tradisi Ngusaba Desa yang dilaksanakan secara khusus di Desa Adat Banyuning. Tradisi ini menjadi ciri khas yang membedakan desa ini dari desa-desa lain di Bali. Ngusaba Desa merupakan salah satu puncak dari rangkaian upacara adat yang diadakan, yang jatuh pada hari purnama kanem.

Salah satu aspek penting dari Ngusaba Desa adalah upacara pecaruan yang harus dilaksanakan sesuai dengan dresta, atau tata cara yang telah ditetapkan. Persiapan untuk upacara ini melibatkan sejumlah pecalang yang bertugas menjaga jalanan dari simpang empat Jalan Pulau Komodo hingga ke sisi timur Pura Desa Banyuning. Mereka dengan cermat mengatur lalu lintas, karena sebagian badan jalan akan digunakan sebagai lokasi upacara pecaruan yang sakral.

ngusaba desa bali

Meskipun mungkin terdengar sederhana, tradisi Ngusaba Desa ini mengandung makna dan nilai yang dalam bagi masyarakat Desa Adat Banyuning. Dengan penuh dedikasi dan kepatuhan terhadap dresta, mereka menjaga warisan budaya leluhur mereka tetap hidup dan berkembang, menjadikan tradisi ini sebagai identitas yang memperkaya kekayaan budaya Bali.

Latar Belakang Tradisi Pecaruan Desa

Pada Rabu (23/11) sore yang penuh dengan keharuan, Desa Adat Banyuning menggelar upacara pecaruan desa. Upacara yang diselenggarakan bertepatan dengan tilem sasih kalima pada rahina buda pon tolu ini menjadi momen penting dalam tradisi keagamaan dan budaya masyarakat Desa Adat Banyuning. Pecaruan, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian ngusaba desa di Desa Adat Banyuning. Memberikan warna tersendiri dalam perjalanan spiritual dan kehidupan masyarakatnya.

Sarana Pecaruan yang Khas

Tradisi pecaruan desa di Desa Adat Banyuning tak hanya menonjol dalam tata cara dan perjalanan upacaranya, tetapi juga dalam penggunaan sarana yang sangat khas dan tak lazim. Bendesa Adat Banyuning. Wayan Suweta, dengan penuh kebanggaan menjelaskan bahwa pecaruan desa adalah bagian tak terpisahkan dari persiapan menjelang upacara ngusaba desa.

Sarana yang digunakan dalam pecaruan ini tidaklah biasa seperti yang mungkin diharapkan. Sesuai dengan dresta atau aturan yang telah ditetapkan, Desa Adat Banyuning memilih sarana yang unik dan beragam. Mulai dari angsa, kuluk bang bungkem, sapi, kambing, hingga babi, semuanya dianggap sebagai sarana yang sesuai untuk melakukan pecaruan. Keberagaman sarana ini menjadi bagian integral dari kekayaan budaya dan tradisi yang dijaga dengan baik oleh masyarakat Desa Adat Banyuning.

Meskipun mungkin tidak terdapat dalam tulisan-tulisan resmi atau sastra agama, namun penggunaan sarana pecaruan yang unik ini menjadi bagian yang sangat berharga dalam tradisi Desa Adat Banyuning. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi ini tidak hanya dipertahankan sebagai ritual semata. Tetapi juga sebagai warisan tak tertulis yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Sarana pecaruan yang khas menjadi simbol dari kedalaman makna dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Desa Adat Banyuning.

Prosesi Nyepi Desa

Setelah pecaruan desa selesai dilaksanakan, prosesi nyepi desa akan dilanjutkan pada Kamis (24/11). Prosesi ini hanya mengikat bagi krama Desa Adat Banyuning dan memiliki tata cara yang khas. Dalam prosesi ini, mereka menjalankan amati karya, amati geni, amati lelungaan, dan amati lelanguan. Namun, perlu diingat bahwa meskipun prosesi ini memiliki kesamaan dengan prosesi nyepi desa di tempat lain, namun di Desa Adat Banyuning. Mereka tidak dapat menutup jalan raya karena akses jalan yang sangat vital dan tidak memiliki jalur alternatif lain.

Makna Pecaruan dalam Perspektif Spiritual

Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kelurahan Banyuning, Nyoman Suardika. Menjelaskan bahwa pecaruan memiliki makna yang sangat dalam dalam membersihkan bhuana agung dan bhuana alit, atau alam semesta dan manusia. Meskipun menurut sastra agama, pecaruan seharusnya dilakukan di catus pata desa adat, namun dresta di Desa Adat Banyuning menetapkan bahwa pecaruan dilakukan di depan pura desa, menunjukkan kedalaman dan keunikan tradisi ini dalam konteks lokal mereka.

Dengan demikian, tradisi pecaruan desa di Desa Adat Banyuning bukan hanya sekadar serangkaian upacara adat, tetapi juga merupakan warisan leluhur yang kaya akan makna spiritual dan budaya. Menjadi inti dari identitas dan kepercayaan masyarakatnya yang kental akan nilai-nilai tradisional.

Post a Comment