Notifications

Mengenal Lebih Jauh: Penggunaan Lontar dalam Ritual Bali

Di Bali terdapat lontar atau naskah sastra kuno yang menjadi sumber ilmu pengetahuan. Lontar-lontar tersebut membuat pengetahuan penting bagi umat Hindu seperti tentang pelaksanaan atau prosesi upacara, tata cara pengobatan tradisional, pedoman perilaku bagi orang suci, bumbu masakan, dan lainnya.

Bagaimanakah penggunaan lontar dalam ritual Bali hingga saat ini? Simaklah penjelasan berikut.

Apa Itu Lontar?

Penggunaan Lontar dalam Ritual Bali

Lontar merupakan daun siwalan atau tak yang dikeringkan dan dipakai se atau bahan naskah dan kerajinan. Pertama, daun-daun pohon siwalan akan dipetik. Pemetikan tersebut biasanya dilakukan pada bulan Maret/April atau September/Oktober karena pada bulan-bulan ini daun lontar sudah tua.

Setelah itu, daun dipotong secara kasar dan dijemur di bawah sinar matahari. Kemudian, daun-daun direndam dalam air mengalir selama beberapa hari lalu digosok bersih menggunakan sabut kelapa.

Daun tersebut direbus lalu dijemur kembali selama 8 jam. Keesokan harinya, daun ditumpuk pada pamlagaban dan di press selama 6 bulan. Kemudian dipotong dan diberi 3 lubang (ujung kiri, tengah, ujung kanan). Tepiannya juga dicat merah dan selesai.

5 Jenis Lontar dalam Ritual Bali

Berikut 5 lontar dalam ritual Bali yang bisa Anda ketahui:

1. Lontar Sundarigama

Sundarigama berisi tentang tata cara pelaksanaan upacara agama Hindu. Lontar ini merupakan sabda Bhatara Guru (Dewa Siwa) kepada para pendeta yang menjadi penasihat raja.

Sundarigama berasal dari kata sunar artinya cahaya terang (sesuluh), ri artinya siddi (kesempurnaan), dan gama artinya agama. Sehingga, lontar ini bermakna kitab suci yang memberikan sesuluh sebagai tuntunan pelaksanaan upacara atau ritual Bali.

Naskah lontar ini menjelaskan terkait hari suci seperti Hari Purnama, Nyepi, Tilem, Saraswati, Tumpek Landep, dan lainnya. Dijelaskan juga mengenai sarana dan prosesi upacara yang digunakan pada hari-hari suci tersebut.

2. Lontar Sangkul Putih dan Lingganing Kusuma Dewa

Lontar ini memuat tata cara serta gagelaran seorang pemangku dalam menjalankan prosesi ritual Bali. Urutannya dijelaskan secara terperinci dan sistematis dalam lontar ini.

Hal ini bertujuan agar pemangku dalam menjalankan swadharma melaksanakan prosesi ritual Bali dengan baik. Pada lontar ini juga terdapat mantra yang digunakan sebagai pegangan para pemangku.

3. Lontar Baberatan Wong Beling

Baberatan Wong Beling memuat tentang cara memperoleh anak yang suputra (berbakti) kepada orang tua dan keluarga. Lontar tersebut berisi tentang pesan-pesan moral yang ditujukan kepada suami dan istri hamil.

Dalam naskah lontar baberatan Wong Beling ini terdapat 5 pokok penting, yaitu:

  • Etika dan pengendalian diri bagi ibu hamil.
  • Etika dan pengendalian bagi keluarga dan suami dari istri yang sedang hamil.
  • Pengobatan untuk ibu hamil.
  • Upacara yang patut dilaksanakan saat ibu sedang hamil.
  • Prosesi upacara setelah bayi tersebut lahir.

Selain itu, lontar ini juga menjelaskan tentang tata cara merawat orang yang sedang hamil.

4. Lontar Bhama Kertih

Pada ritual Bali, lontar Bhama Kertih menjelaskan tentang panduan dalam membangun rumah atau pekarangan tempat tinggal. Termasuk menjelaskan ciri-ciri pekarangan yang mempunyai aura positif dan negatif. Hal ini biasa disebut sebagai karang panes.

Lontar ini juga mengulas tata cara membangun rumah tradisional Bali. Selain tentang pekarangan, lontar Bhama Kertih juga mengulas upacara-upacara yang wajib dilakukan ketika mulai membangun rumah atau pekarangan.

5. Lontar Usadha Buduh

Ini tersimpan di UPT (Unit Pelaksana Teknis) Lontar Universitas Udayana, Gedung Kirtya Singaraja, dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Lontar Usadha Bali menggunakan Bahasa Jawa Kuno campur Bahasa Bali. Buduh merupakan Bahasa Bali yang artinya gila, sedangkan usadha yang berarti pengobatan secara tradisional. Lontar ini berisi pengetahuan tentang sakit gila serta cara mengobatinya.

Pengobatan yang dilakukan berdasarkan ciri-ciri sakit gila yang sedang dialami oleh orang tersebut. Ada 20 jenis sakit gila yang dijelaskan dalam Lontar Usadha Buduh. Selain itu, pengobatannya juga dilakukan tanpa melihat ciri-ciri sakit gila yang diidap. Dapat dikatakan pengobatan sakit gila secara umum.

Itulah penggunaan lontar dalam ritual Bali. Itu masih sepersekian kecil dari banyaknya lontar di Pulau Bali. Naskah lontar ini sangat penting untuk diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sebab, pengetahuan yang ada pada lontar tidak akan pernah mati di mana waktu ataupun teknologi.

 

 

 

Post a Comment